Saturday, March 22, 2014

Sepenggal Kisah Kepemimpinan Rasulullah saw.

Wahai, Lelaki yang Waktunya Habis untuk mengingat Tuhan, Wahai Kekaih Allah, Wahai Rasululluah..., shalat yang engkau imami barusan mengganggu pikiran Umar, salah seorang sahabat dekatmu. Setiap gerakanmu di depan sahabat-sahabatmu terkesan berat dan sukar. Ada bebunyian yang demikian mencolok, seolah persendianmu saling gesek satu sama lain. Shalat kali ini lebih lama dari biasanya.
Usai shalat, Umar yang begitu khawatir dengan kondisimu lalu mendatangi Nabi sekaligus sahabat tercintanya: dirimu. Berhati-hati dia duduk di sebelahmu dan serta-merta engkau sambut dengan senyum. Dia pikir, tidak usah berbasa-basi. “Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah engkau menanggung penderitaan yang amat berat. Sakitkah engkau, ya, Rasul?”
Engkau tersenyum sembari menggeleng, “Tidak, wahai Umar. Alhamdulillah, aku sehat.”
Umar menahan kata-katanya, supaya tidak terburu-buru jadinya. “Mengapa setiap kali engkau menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi di tubuhmu bergesekan?” Ekspresi Umar memperlihatkan rasa prihatin, penuh kasih sayang, dan rasa khawatir. “Kami yakin engkau sedang sakit.”
Engkau tersenyum lagi. Tidakkah wajahmu memang terlihat sedikit pucat hari ini? Toh, senyummu seperti menjadi pelipur lara terbaik bagi sesuatu yang tidak engkau katakan, meski kepada Umar, sesuatu yang tidak engkau katakan tidak mampu membuatnya tidak kentara.
Karena merasa jawaban “tidak” atau “aku baik-baik saja” sudah tak mencukupi lagi, engkau lantas berdiri, mengangkat jubahmu, hingga bagian perutmu terlihat nyata. Seketika Umar dan setiap orang yang ada di mesjid itu terpana. Tampak begitu kempis perutmu. Perut itu dililit oleh kain yang membuntal, berisi kerikil-kerikil. Engkau mengganjal laparmu dengan kerikil-kerikil itu. Kerikil-kerikil yang menimbulkan suara berisik ketika engkau mengimami shalat. Kerikil-kerikil yang memancing keingintahuan Umar dan menyangka dirimu sedang dalam kondisi sakit yang serius.
“Ya, Rasul,” suara Umar bergetar oleh rasa iba dan penyesalan, “apakah jika engkau mengatakan sedang lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan menyediakannya untuk engkau?”
Engkau menutup lagi perutmu dengan helai jubahmu yang menjuntai. Engkau menatap Umar dengan pancaran cinta uang utuh, “Tidak, Umar. Aku tahu, apapun akan kalian korbankan demi aku. Akan tetapi, apa yang harus kukatakan di hadapan Allah nanti jika sebagai pemimpin aku menjadi beban bagi umatku?”
Engkau mengedarkan pandanganmu ke sahabat-sahabatmu yang lain, “Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah dari Allah untukku agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia, terlebih di akhirat.”
Siapapun yang mendengar kalimatmu seketika terdiam. Ada yang berdenyar merambat ke bola mata mereka. Beberapa terisak oleh haru. Umar maklim bahwa dia tak kan sanggup melangkah lebih jauh, memaksa engkau untuk mengikuti kehendaknya. Dia pun hanya terdiam membiarkan detik-detik berjalan satu per satu.
-Bab 22. Kabar dari Mekkah~Lelaki Penggenggam Hujan-
al-Quran surat Al-Ahzab, 33: 21 :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
"Sesunggunya pada diri Rasulullah saw. terdapat contoh tauladan bagi mereka yang menggantungkan harapannya kepada Allah dan Hari Akhirat serta banyak berzikir kepada Allah."
 

No comments:

Post a Comment